Raja Raja Eropa Abad Pertengahan

Raja Raja Eropa Abad Pertengahan

Masyarakat dan ekonomi

Masyarakat di seluruh Eropa terguncang oleh perubahan-perubahan besar yang diakibatkan oleh malapetaka Maut Hitam. Lahan-lahan yang kurang produktif ditelantarkan, karena orang-orang yang masih hidup kini mampu mendapatkan lahan-lahan lain yang lebih subur.[267] Meskipun kian berkurang di kawasan barat Eropa, praktik perhambaan kaum tani justru menjadi semakin lumrah di kawasan timur Eropa, karena tuan-tuan tanah memaksa para penyewa lahan yang sebelumnya merdeka untuk menjadi hamba sahaya mereka.[268] Sebagian besar kaum tani di kawasan barat Eropa berhasil mengganti kewajiban kerja bakti bagi majikan-majikan mereka menjadi pembayaran sewa lahan secara tunai.[269] Persentase kaum tani yang menghamba pada tuan tanah menyusut dari 90% sampai mendekati 50% pada akhir kurun waktu ini.[166] Tuan-tuan tanah pun menjadi semakin sadar akan kepentingan-kepentingan bersama dengan tuan-tuan tanah lainnya, dan akhirnya bersatu untuk menuntut anugerah hak-hak istimewa dari pemerintah. Tuntutan ini menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah untuk berusaha mengundang-undangan aturan-aturan yang bertujuan memulihkan keadaan ekonomi seperti sediakala sebelum berjangkitnya Maut Hitam.[269] Orang-orang di luar kalangan rohaniwan semakin lama semakin terpelajar, dan masyarakat perkotaan mulai ikut-ikutan meminati kejatmikaan sebagaimana kaum bangsawan.[270]

Komunitas-komunitas umat Yahudi diusir dari Inggris pada 1290, dan dari Prancis pada 1306. Meskipun beberapa di antaranya diizinkan kembali ke Prancis, sebagian besar tidak diberi izin yang sama, dan banyak umat Yahudi yang beremigrasi ke sebelah timur, menetap di Polandia dan Hungaria.[271] Umat Yahudi diusir dari Spanyol pada 1492, dan menyebar ke Turki, Prancis, Italia, dan Belanda.[76] Bangkitnya lembaga perbankan di Italia, yang terjadi pada abad ke-13 bertahan sepanjang abad ke-14, antara lain disebabkan oleh kian maraknya peperangan kala itu, dan kebutuhan lembaga kepausan untuk memindahkan uang dari satu negara ke negara lain. Banyak perusahaan perbankan yang meminjamkan uang kepada para penguasa, dengan tingkat risiko yang tinggi, karena beberapa di antaranya terpaksa gulung tikar manakala raja-raja gagal melunasi pinjaman mereka.[272][AD]

Negara-negara bangsa yang kuat berlandaskan kekuasaan raja-raja mengalami kebangkitan di seluruh Eropa pada Akhir Abad Pertengahan, terutama di Inggris, Prancis, dan kerajaan-kerajaan Kristen di Jazirah Iberia, yakni Kerajaan Aragon, Kerajaan Kastila, dan Kerajaan Portugal. Sengketa-sengketa berkepanjangan yang terjadi kala itu memperkuat kendali raja-raja atas kerajaan-kerajaan mereka dan sangat menyulitkan kaum tani. Raja-raja diuntungkan dari perang yang memperbesar kewenangan hukum raja dan menambah luas tanah-tanah yang mereka kuasai secara langsung.[273] Kebutuhan pendanaan perang mendorong diciptakannya cara-cara memungut pajak yang lebih efektif dan efisien, dan tarif pajak sering kali dinaikkan.[274] Adanya persyaratan meminta persetujuan para wajib pajak memungkinkan badan-badan perwakilan rakyat seperti Parlemen Inggris dan États Généraux Prancis untuk mendapatkan kuasa dan kewenangan.[275]

Sepanjang abad ke-14, raja-raja Prancis berusaha meluaskan pengaruh mereka dengan cara merampas daerah-daerah kekuasaan kaum bangsawan.[276] Mereka menghadapi kesulitan ketika berusaha merampas daerah-daerah kekuasaan raja-raja Inggris di kawasan selatan Prancis. Usaha perampasan ini berbuntut pada Perang Seratus Tahun[277] yang berlangsung dari 1337 sampai 1453.[278] Dalam perang ini, pihak Inggris di bawah pimpinan Raja Edward III (memerintah 1327–1377) dan putranya, Edward Pangeran Hitam (wafat 1376),[AE] mula-mula tampil unggul dengan memenangkan Pertempuran Crécy dan Pertempuran Poitiers, merebut kota Calais, serta berhasil menguasai sebagaian besar wilayah Kerajaan Prancis.[AF] Sepak terjang Inggris mengakibatkan Kerajaan Prancis nyaris terpecah-belah pada tahun-tahun permulaan perang.[281] Pada permulaan abad ke-15, Kerajaan Prancis sekali lagi nyaris tercerai-berai, tetapi pada penghujung dasawarsa 1420-an, keberhasilan aksi-aksi militer yang dilakukan oleh Jeanne d'Arc (wafat 1431) menghasilkan kemenangan bagi pihak Prancis dan perampasan daerah-daerah kekuasaan Inggris yang terakhir di kawasan selatan Prancis pada 1453.[282] Harga yang harus dibayar sangatlah tinggi, karena populasi Prancis pada akhir perang agaknya tersisa setengah dari jumlahnya pada awal perang. Sebaliknya, perang ini berdampak positif terhadap jati diri bangsa Inggris, karena mampu melebur berbagai identitas kedaerahan menjadi satu jati diri tunggal sebagai bangsa Inggris. Sengketa dengan Prancis ini juga membantu menciptakan suatu budaya bangsa Inggris yang terpisah dari budaya Prancis, yakni budaya yang sebelumnya sangat mempengaruhi peri kehidupan masyarakat Inggris.[283] Busur panjang mulai menjadi senjata andalan Inggris pada tahap-tahap permulaan Perang Seratus Tahun,[284] dan meriam muncul di medan tempur di Crécy pada 1346.[238]

Di Jerman, Kekaisaran Romawi Suci terus bertahan hingga ke Zaman Modern, tetapi sifat elektif dari jabatan kaisar memuskilkan suatu wangsa untuk kekal berkuasa, yang sekiranya mungkin, dapat menjadi landasan bagi terbentuknya sebuah negara yang kuat.[285] Lebih jauh lagi ke sebelah timur, Kerajaan Polandia, Kerajaan Hungaria, dan Kerajaan Bohemia tumbuh menjadi negara-negara yang kuat.[286] Di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen terus-menerus berhasil merebut daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Muslim di jazirah itu;[287] Kerajaan Portugal memusatkan perhatiannya pada usaha perluasan wilayah di seberang laut pada abad ke-15, sementara kerajaan-kerajaan lainnya mengalami perpecahan akibat permasalahan suksesi penguasa dan berbagai permasalahan lain.[288][289] Setelah dikalahkan dalam Perang Seratus Tahun, Inggris mengalami perang saudara berkepanjangan yang dikenal dengan sebutan Perang Mawar. Perang ini berlangsung sampai memasuki dasawarsa 1490-an,[289] dan baru berakhir ketika Henry Tudor (memerintah 1485–1509 sebagai Raja Henry VII) menjadi Raja Inggris, dan memperkukuh kekuasaan dengan kemenangannya atas Richard III (memerintah 1483–1485) dalam Pertempuran Bosworth pada 1485.[290] Di kawasan Skandinavia, Ratu Denmark, Margrete I (memerintah 1387–1412), mempersatukan kekuatan Norwegia, Denmark, dan Swedia dalam Uni Kalmar, yang bertahan sampai dengan 1523. Kekuatan utama di kawasan sekitar Laut Baltik adalah Liga Hansa, konfederasi perniagaan negara-negara kota yang menjalankan usahanya mulai dari kawasan barat Eropa sampai ke Rusia.[291] Skotlandia bangkit dari dominasi Inggris pada masa pemerintahan Robert the Bruce (memerintah 1306–1329), yang berhasil mendapatkan pengakuan dari lembaga kepausan atas jabatannya sebagai raja pada 1328.[292]

Retaknya Kekaisaran Karoling

Karel Agung berniat meneruskan adat waris Franka dengan membagi wilayah kerajaannya kepada seluruh ahli warisnya, akan tetapi niatnya itu tidak terkabul karena hanya tinggal Ludwig Saleh (memerintah 814–840) yang masih hidup pada 813. Sebelum mangkat pada 814, Karel Agung menobatkan Ludwig menjadi penggantinya. Masa pemerintahan Ludwig sepanjang 26 tahun ditandai beberapa kali pembagi-bagian wilayah Kekaisaran Karoling di antara putra-putranya dan, setelah 829, pecah beberapa kali perang saudara memperebutkan kekuasaan atas berbagai bagian wilayah Kekaisaran Karoling. Selama berlangsungnya perang-perang saudara ini, Ludwig bersekutu dengan salah seorang putranya untuk melawan putranya yang lain. Ludwig akhirnya mengakui putra sulungnya yang bernama Lothar I (wafat 855) sebagai kaisar dan menyerahkan wilayah Italia kepadanya. Ludwig membagi wilayah kekaisaran selebihnya kepada Lothar dan Karel Gundul (wafat 877), putra bungsunya. Lothar menguasai Negeri Franka Timur yang terletak di kedua tepi Sungai Rhein dan membentang sampai ke sebelah timur, sementara Karel menguasai Negeri Franka Barat beserta wilayah kekaisaran di sebelah barat daerah Rheinland dan Pegunungan Alpen. Ludwig Jerman (wafat 876), anak tengah Karel yang tak kunjung jera memberontak, diizinkan menguasai daerah Bayern di bawah suzerenitas abangnya. Pembagian wilayah ini malah menimbulkan pertikaian. Cucu kaisar yang bernama Pipin II dari Aquitania (wafat sesudah 864), bangkit memberontak hendak mengusai Aquitania, sementara Ludwig Jerman berusaha menguasai seluruh Negeri Franka Timur. Ludwig Saleh mangkat pada 840, meninggalkan Kekaisaran Karoling dalam keadaan kacau balau.[109]

Perang saudara selama tiga tahun pun berkecamuk setelah Ludwig Saleh mangkat. Dengan Perjanjian Verdun (843), diciptakan sebuah kerajaan baru bagi Lothar yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai Rhone sebagai tambahan bagi wilayah Italia yang dikuasainya. Selain itu, Lothar juga diakui sebagai Kaisar. Ludwig Jerman menguasai Bayern dan daerah-daerah di kawasan timur Negeri Franka yang sekarang termasuk dalam wilayah negara Jerman. Karel Gundul mendapatkan daerah-daerah di kawasan barat Negeri Franka yang meliputi hampir seluruh wilayah negara Prancis sekarang ini.[109] Cucu-cucu dan cicit-cicit Karel Agung membagi-bagi lagi wilayah kerajaan-kerajaan mereka kepada anak cucu mereka, sehingga keutuhan wilayah Kekaisaran Karoling pada akhirnya sirna.[110][M] Pada 987, wangsa Karoling tersingkir dari tampuk kekuasaan di Negeri Franka Barat, manakala Hugo Capet (memerintah 987–996) dinobatkan menjadi raja.[N][O] Di Negeri Franka Timur, wangsa Karoling telah punah manakala Raja Ludwig Bocah mangkat pada 911,[113] dan Konrad I (memerintah 911–918), yang tidak memiliki pertalian apa-apa dengan wangsa Karoling, terpilih menjadi raja.[114]

Perpecahan Kekaisaran Karoling terjadi bersamaan dengan invasi, migrasi, dan penyerangan oleh seteru dari luar. Kawasan pantai Samudra Atlantik dan pesisir utara dirongrong oleh orang Viking, yang juga menyerbu serta mendiami Kepulauan Britania dan Islandia. Pada 911, Kepala Suku Viking yang bernama Rollo (wafat sekitar 931) mendapatkan izin dari Raja Orang Franka, Karel Polos (memerintah 898–922) untuk bermukim di daerah yang kini bernama Normandie di negara Prancis.[115][P] Kawasan timur Negeri Franka, khususnya Jerman dan Italia, terus-menerus dirongrong oleh orang Magyar yang baru dapat dikalahkan dalam Pertempuran Lechfeld pada 955.[117] Perpecahan Khilafah Bani Abbas mengakibatkan Dunia Islam terpecah-belah menjadi banyak negara kecil, beberapa di antaranya mulai berusaha meluaskan wilayah kedaulatan sampai ke Italia, Sisilia, dan melewati Pegunungan Pirenia sampai ke kawasan selatan Negeri Franka.[118]

Munculnya Kasta Prajurit (Knight/Ridder)

Disebabkan oleh sering munculnya peperangan yang terjadi di antara para vassal, maka sifat-sifat kepahlawanan dan keprajuritan menjadi sangat terpandang. Pengangkatan seseorang menjadi knight dilakukan oleh raja pada suatu ibadat yang khidmat. Seorang knight harus setia kepada sumpah setianya kepada raja dan agama serta membela dan melindungi yang lemah.

Kota-kota di masa feudal biasanya berdinding tebal yang dapat melindungi kota dari serangan musuh, atau yang biasa disebut dengan benteng. Oleh karena itu, terkadang Abad Pertengahan disebut pula sebagai ‘zaman benteng’. Sebab pada masa ini banyak dibangun benteng-benteng untuk melindungi kota. Kebutuhan akan berbagai macam barang dicukupi oleh organisasi yang disebut dengan gilda.

Gilda adalah serikat pengrajin yang dibentuk untuk memantau kegiatan usaha atau perniagaan mereka di daerah tertentu. Di dalam gilda terdapat usaha melakukan pekerjaan tangan untuk melayani pesanan. Setiap jenis gilda menjalankan jenis kegiatan produksi tertentu. Gilda sendiri pertama kali berkembang pada masa Kekaisaran Romawi. Serikat ini adalah sebuah perhimpunan yang bersifat sukarela dan beranggotakan penguasaha-pengusaha yang bergelut di bidang yang sama. Serikat ini bergerak di bidang angkutan laut jarak jauh yang berpusat di Ostia, Roma.

Gilda-gilda Romawi itu mengalami keruntuhan dan bubar setelah Kekaisaran Romawi mengalami keruntuhan pada tahun 476. Pada Abad Pertengahan, gilda merupakan serikat pengrajin yang menggeluti bidan yang sama. Pada prinsipnya gilda Abad Pertengahan terbagi menjadi dua jenis; (1) gilda saudagar, (2) gilda pengrajin. Di mana kedua jenis gilda ini dibentuk demi kepentingan bersama. Gilda kemudian dijadikan sebagai suatu perkumpulan persaudaraan yang saling membantu.

Kehadiran gilda dimanfaatkan oleh kalangan bangsawan untuk memonopoli perdagangan yang menjadi cikal-bakal dari lahirnya semangat merkantilisme. Sistem gilda seperti ini bertahan hingga abad ke-14 dengan munculnya perpecahan diantara gilda itu sendiri yang terbagi menjadi dua kelompok; gilda berpunya (besar) dan gilda tak berpunya (kecil).

Perseteruan antar gilda yang paling sengit terjadi adalah perseteruan antara gilda-gilda yang bersifat konservatif dengan golongan saudagar yang melalui penguasaan alat-alat produksi. Gilda sendiri bekerjasama dengan pemerintah kota untuk mendapatkan keuntungan. Gilda mulai hancur setelah terjadinya revolusi industri pada abad ke-17.

Organisasi gilda diatur rapi dan diawasi oleh pemerintah kota untuk menjamin kualitas barang buatannya. Jika ada serangan, setiap jenis gilda harus mempertahankan bagian dinding kota tertentu. Dengan demikian organisasi gilda juga diikutsertakan dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Terdapat 10 negara yang pernah menjadi kampiun sepak bola di benua Eropa. Jerman dan Spanyol adalah dua negara tersukses di Kejuaraan Piala Eropa, sama-sama mengumpulkan tiga gelar juara.

Jerman paling sering mencapai di final, yaitu sebanyak enam kali, dengan separuhnya sebagai tim Jerman Barat.

Selanjutnya Perancis dan Italia menyusul di belakang Tim Panser dan skuad Matador dengan torehan dua titel.

Sementara, ada enam negara yang masing-masing mengoleksi satu trofi, yakni Rusia/Uni Soviet, Ceko/Cekoslovakia, Denmark, Yunani, Belanda, serta Portugal.

Selain 10 negara yang menjadi juara, ada tiga negara yang menjejak hingga ke babak final. Mereka adalah Serbia (yang kala itu menjadi bagian Yugoslavia) dua kali mencapai babak final (1960, dan 1968), Belgia (1980,) dan Inggris (2020).

Italia merupakan negara terakhir yang menjadi kampiun Eropa. Gli Azzuri meraih trofi untuk kedua kalinya di EURO 2020 setelah mengalahkan Inggris di partai puncak lewat adu pinalti 3 – 2.

Sumber Data:Union of European Football Associations (UEFA)

Infografik:Albertus Erwin Susanto

Pengolah Data:Dwi Erianto

Editor:Topan Yuniarto

Nationalgeographic.co.id—Sejarah abad pertengahan menilai raja yang baik adalah mereka yang keberanian, kesalehan, rasa keadilan, mendengarkan nasihat, menahan diri dengan uang, dan kemampuan untuk menjaga perdamaian.

Kualitas-kualitas ini mencerminkan cita-cita kerajaan sejarah abad pertengahan, tetapi menavigasi para bangsawan yang ambisius dan politik Eropa tentu saja bukanlah hal yang mudah.

Meskipun demikian, beberapa raja ternyata lebih baik dalam pekerjaan itu daripada yang lain. Berikut raja dengan reputasi terburuk dalam sejarah abad pertengahan Inggris.

Dijuluki 'Bad King John', John I memperoleh citra jahat yang telah direproduksi berkali-kali dalam budaya populer, termasuk adaptasi film Robin Hood dan drama oleh Shakespeare.

Orang tua John, Henry II dan Eleanor dari Aquitaine adalah penguasa yang tangguh dan mengamankan banyak wilayah Prancis di Inggris.

Saudara laki-laki John, Richard I, meskipun hanya menghabiskan 6 bulan di Inggris sebagai raja, mendapatkan gelar 'Lionheart' karena keterampilan dan kepemimpinan militernya yang hebat.

Berkat perang suci Richard yang sedang berlangsung, John juga mewarisi kerajaan yang pundi-pundinya telah dikosongkan yang berarti setiap pajak yang dia naikkan sangat tidak populer.

John sudah mendapatkan reputasi pengkhianatan sebelum menjadi raja. Kemudian, pada tahun 1192, dia berusaha merebut takhta Richard saat dia ditawan di Austria.

John bahkan mencoba bernegosiasi untuk memperpanjang masa penahanan saudaranya dan dia beruntung diampuni oleh Richard setelah dibebaskan.

Lebih lanjut memberatkan John di mata orang-orang sezamannya adalah kurangnya kesalehan. Untuk Inggris abad pertengahan, raja yang baik adalah yang saleh.

Sementara John memiliki banyak perselingkuhan dengan wanita bangsawan yang sudah menikah yang dianggap sangat tidak bermoral. Setelah mengabaikan pencalonan Paus untuk uskup agung, dia dikucilkan pada tahun 1209.

Raja abad pertengahan juga dimaksudkan untuk berani. John dijuluki 'softsword' karena kehilangan tanah Inggris di Prancis, termasuk Kadipaten Normandia yang kuat.

Ketika Prancis menginvasi pada tahun 1216, John berada hampir 3 liga jauhnya pada saat salah satu anak buahnya menyadari bahwa dia telah meninggalkan mereka.

Akhirnya, John ikut bertanggung jawab atas pembuatan Magna Carta, sebuah dokumen yang secara luas dianggap sebagai dasar peradilan Inggris, partisipasinya paling tidak diinginkan.

Pada Mei 1215, sekelompok baron menggiring pasukan ke selatan memaksa John untuk menegosiasikan kembali pemerintahan Inggris, dan pada akhirnya, tidak ada pihak yang mendukung kesepakatan mereka.

Edward II (1307-1327)

Edward membuat kesalahan kerajaan abad pertengahan. Piers Gaveston adalah favorit Edward sehingga orang-orang sezaman menggambarkan, "dua raja memerintah di satu kerajaan, yang satu dalam nama dan yang lainnya dalam perbuatan".

Apakah raja dan Gaveston adalah kekasih atau teman dekat, hubungan mereka membuat marah para baron yang merasa diremehkan oleh posisi Gaveston.

Edward terpaksa mengasingkan temannya dan melembagakan Tata Cara tahun 1311, yang membatasi kekuasaan kerajaan. Namun, dia mengabaikan Tata Cara dan membawa kembali Gaveston yang dengan cepat dieksekusi oleh para baron.

Lebih lanjut merusak popularitasnya, Edward bertekad untuk menenangkan Skotlandia setelah mengikuti ayahnya dalam kampanye utara sebelumnya.

Pada bulan Juni 1314, Edward menggiring salah satu pasukan terkuat Inggris abad pertengahan ke Skotlandia tetapi dihancurkan oleh Robert the Bruce di Pertempuran Bannockburn.

Kekalahan yang memalukan ini diikuti oleh kegagalan panen dan kelaparan yang meluas. Meski bukan kesalahan Edward, raja memperburuk ketidakpuasan dengan terus menjadikan teman terdekatnya sangat kaya, dan pada tahun 1321 perang saudara pecah.

Edward telah mengasingkan sekutunya. Istrinya Isabella (putri raja Prancis) kemudian berangkat ke Prancis untuk menandatangani perjanjian. Sebaliknya, dia berkomplot melawan Edward dengan Roger Mortimer, Earl of March 1, dan bersama-sama mereka menginvasi Inggris dengan pasukan kecil. Setahun kemudian pada tahun 1327, Edward ditangkap dan dipaksa turun takhta.

Richard II (1377-1399)

Putra Pangeran Hitam Edward III, Richard II menjadi raja pada usia 10 tahun, jadi serangkaian dewan perwalian mengatur Inggris di sisinya.

Richard berusia 14 tahun ketika pemerintahnya secara brutal menekan Pemberontakan Petani tahun 1381. Seiring dengan pengadilan yang bergejolak penuh dengan orang-orang kuat yang bergulat untuk mendapatkan pengaruh, Richard mewarisi Perang Seratus Tahun dengan Prancis.

Perang itu mahal dan Inggris sudah dikenakan pajak yang berat. Pajak pemungutan suara tahun 1381 adalah yang terakhir. Di Kent dan Essex, para petani yang marah bangkit melawan pemilik tanah sebagai protes.

Berusia 14 tahun, Richard secara pribadi menghadapi para pemberontak ketika mereka tiba di London dan mengizinkan mereka pulang tanpa kekerasan. Namun, pergolakan lebih lanjut di minggu-minggu berikutnya membuat para pemimpin pemberontak dieksekusi.

Penindasan pemberontakan selama pemerintahan Richard memperkuat keyakinannya pada hak ketuhanannya sebagai raja. Absolutisme ini akhirnya membuat Richard bertengkar dengan parlemen dan Lords Appellant, sekelompok 5 bangsawan yang kuat (termasuk pamannya sendiri, Thomas Woodstock) yang menentang Richard dan penasihatnya yang berpengaruh, Michael de la Pole.

Ketika Richard akhirnya dewasa, dia mencari pembalasan atas pengkhianatan para penasihatnya sebelumnya, yang terwujud dalam serangkaian eksekusi sadis saat dia membersihkan Lords Appellant, termasuk pamannya yang dituduh melakukan pengkhianatan dan dieksekusi.

Dia juga mengirim putra John dari Gaunt (sepupu Richard) Henry Bolingbroke ke pengasingan. Sial bagi Richard, Henry kembali ke Inggris untuk menggulingkannya pada tahun 1399 dan dengan dukungan rakyat dimahkotai Henry IV.

Henry VI (1422-1461, 1470-1471)

Baru berusia 9 bulan ketika dia menjadi raja. Sebagai raja muda, Henry dikelilingi oleh penasihat yang kuat, banyak di antaranya dia berikan kekayaan dan gelar secara berlebihan.

Raja muda itu semakin terpecah pendapatnya ketika dia menikah dengan keponakan perempuan raja Prancis, Margaret dari Anjou, menyerahkan wilayah yang dimenangkan dengan susah payah ke Prancis.

Ditambah dengan penyerbuan Prancis yang gagal di Normandia, meningkatnya perpecahan antara faksi, kerusuhan di selatan dan ancaman popularitas Richard Duke of York yang semakin meningkat, Henry akhirnya menyerah pada masalah kesehatan mental pada tahun 1453.

Pada 1455, Perang Mawar telah dimulai dan selama pertempuran pertama di St Albans Henry ditangkap oleh Yorkist dan Richard memerintah sebagai Lord Protector sebagai penggantinya.

Selama tahun-tahun berikutnya ketika House of York dan Lancaster berjuang untuk mendapatkan kendali, kesialan kesehatan mental Henry yang buruk membuat dia berada dalam posisi kecil untuk mengambil kepemimpinan angkatan bersenjata atau pemerintahan, terutama setelah kehilangan putranya dan pemenjaraan yang berkelanjutan.

Raja Edward IV naik takhta pada tahun 1461 tetapi dikeluarkan darinya pada tahun 1470 ketika Henry dikembalikan ke takhta oleh Earl of Warwick dan Ratu Margaret.

Edward IV mengalahkan pasukan Earl of Warwick dan Ratu Margaret pada Pertempuran Barnet dan Pertempuran Tewkesbury. Segera setelah itu, pada tanggal 21 Mei 1471, saat Raja Edward IV diarak melalui London dengan rantai Margaret dari Anjou, Henry VI meninggal di Menara London.

Varuna, Dewa Langit dan Lautan yang 'Ambigu' dalam Tradisi Hindu Kuno

Halaman ini berisi artikel tentang Abad Pertengahan di Eropa. Untuk sejarah dunia antara abad ke-5 sampai abad ke-15, lihat

Di dalam sejarah Eropa, Abad Pertengahan adalah kurun waktu yang bermula sekitar tahun 500 dan berakhir pada tahun 1500 tarikh Masehi. Kurun waktu tersebut merupakan penggal kedua dari pembagian tradisional sejarah Eropa menjadi Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Perkembangan-perkembangan utama pada kurun waktu ini adalah predominansi sektor pertanian di bidang ekonomi, eksploitasi rakyat tani, komunikasi interregional yang lamban, pentingnya hubungan pribadi dalam struktur kekuasaan, dan tata negara yang lemah. Kurun waktu ini adakalanya dibagi lagi menjadi Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan. Sebutan alternatif untuk Awal Abad Pertengahan adalah Abad Kegelapan.

Penurunan populasi, kontraurbanisasi, tumbangnya kekuasaan terpusat, perpindahan suku-suku (terutama suku-suku bangsa Jermani), dan Kristenisasi, yang dimulai pada Akhir Abad Kuno, terus berlanjut sampai ke Awal Abad Pertengahan. Perpindahan suku-suku tersebut bermuara pada disintegrasi Kekaisaran Romawi Barat dan kemunculan kerajaan-kerajaan baru. Di Eropa pasca-Romawi, penurunan pajak, pembiayaan angkatan bersenjata melalui anugerah tanah lungguh, dan pembauran peradaban Romawi Akhir dengan tradisi-tradisi para penginvasi terdokumentasi dengan baik. Kekaisaran Romawi Timur masih berdiri kukuh, tetapi kedaulatannya atas Timur Tengah dan Afrika Utara hilang direnggut bala tentara Muslim pada abad ke-7. Sekalipun wangsa Karoling yang berasal dari suku Franka berhasil mempersatukan kembali banyak daerah peninggalan Kekaisaran Romawi Barat pada awal abad ke-9, negara Kekaisaran Karoling dengan cepat pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang saling bersaing, yang kemudian hari tercerai-berai menjadi kadipaten-kadipaten dan daerah-daerah ketuanan swatantra.

Pada Puncak Abad Pertengahan, yang bermula selepas tahun 1000, populasi Eropa melonjak pesat ketika periode Suhu Hangat Abad Pertengahan membuka peluang untuk meningkatkan hasil panen, dan inovasi-inovasi di bidang teknologi maupun pertanian menghadirkan suatu "revolusi niaga". Perbudakan nyaris hilang, dan rakyat tani dapat mengangkat derajatnya dengan cara mendaulat daerah-daerah yang jauh demi mendapatkan konsesi ekonomi dan hukum. Pusat-pusat niaga lokal tumbuh menjadi kota-kota baru, dan para pengrajin perkotaan bergabung membentuk serikat-serikat usaha lokal demi melindungi kepentingan bersama. Para petinggi Gereja Barat menerima supremasi paus demi menangkis campur tangan awam dalam urusan gerejawi, yang justru mengakselerasi keterpisahan Gereja Katolik di barat dari Gereja Ortodoks di timur, serta memicu sengketa Investitur antara lembaga kepausan dan kuasa-kuasa sekuler. Dengan menyebarnya aswasada berat, muncul golongan ningrat baru yang mengukuhkan kedudukannya melalui adat pewarisan yang ketat. Di dalam sistem feodalisme para kesatria berkuda ningrat berutang bakti kepada tuan-tuan mereka sebagai ganti anugerah tanah lungguh yang mereka terima. Puri-puri batu dibangun di daerah-daerah tempat kekuasaan terpusat tidak begitu kuat, tetapi kekuasaan negara meningkat menjelang akhir kurun waktu ini. Pemukiman rakyat tani dan kaum ningrat Eropa Barat ke kawasan timur dan selatan Eropa, yang kerap dipicu oleh perang-perang Salib, bermuara kepada ekspansi Dunia Kristen Latin. Penyebaran sekolah-sekolah katedral dan universitas-universitas mendorong munculnya metode diskusi ilmiah baru dengan penekanan pada argumentasi rasional yang dikenal dengan sebutan skolatisisme. Ziarah-ziarah yang dilakukan secara besar-besaran mendorong dibangunnya gereja-gereja raksasa berarsitektur Romanik yang kukuh, sementara inovasi-inovasi di bidang pengerjaan bangunan mendorong dikembangkannya arsitektur Gothik yang lebih anggun.

Berbagai musibah, antara lain bencana Kelaparan Besar dan wabah Maut Hitam yang menyusutkan populasi sampai 50 persen pada abad ke-14, menjadi pembuka kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Konflik-konflik antaretnis dan antar golongan masyarakat kian memanas, dan konflik-konflik lokal kerap meningkat menjadi perang besar, misalnya Perang Seratus Tahun. Menjelang akhir kurun waktu ini, Kekaisaran Romawi Timur dan negara-negara Balkan ditaklukkan kekuatan Muslim yang baru, yakni Kemaharajaan Usmani; sementara di Jazirah Iberia, kerajaan-kerajaan Kristen memenangkan perang berabad-abad melawan tetangga-tetangga Muslim mereka. Pementingan keimanan pribadi terdokumentasi dengan baik, tetapi Skisma Barat dan gerakan-gerakan pembangkangan yang dibidatkan memunculkan penting terhadap struktur kekuasaan tradisional di dalam Gereja Barat. Para sarjana humanis mulai menitikberatkan keluhuran martabat manusia, dan para arsitek dan seniman Renaisans Awal menghidupkan kembali beberapa unsur budaya klasik di Italia. Dalam seratus tahun terakhir Abad Pertengahan, usaha-usaha meneroka samudra dalam rangka mencari jalur-jalur dagang baru melahirkan Abad Penjelajahan Samudra.

Puncak Abad Pertengahan

Sengketa dalam Gereja

Pada abad ke-14 yang penuh pergolakan, sengketa kepemimpinan Gereja mengakibatkan lembaga kepausan berpindah ke Avignon sejak 1309 sampai 1376.[295] Kurun waktu keberadaan lembaga kepausan di Avignon ini disebut pula masa "pembuangan Babel lembaga kepausan" (mengacu pada masa pembuangan Babel yang dialami umat Yahudi).[296] Sengketa ini juga menyebabkan terjadinya Skisma Akbar Gereja Barat, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, manakala muncul dua dan kemudian tiga orang paus yang menjabat pada waktu yang bersamaan, masing-masing didukung oleh sejumlah negara.[297] Para wali gereja bersidang dalam Konsili Konstanz pada 1414, dan pada tahun berikutnya memutuskan untuk memakzulkan salah seorang dari ketiga paus. Pemakzulan terus berlanjut dan pada bulan November 1417, para peserta konsili akhirnya memilih Kardinal Oddone Colonna menjadi Paus Martinus V (menjabat 1417–1431).[298]

Selain skisma, Gereja Barat juga mengalami perpecahan akibat kontroversi teologi, beberapa di antaranya berubah menjadi gerakan bidah. Yohanes Wycliffe (wafat 1384), seorang teolog Inggris, dikutuk sebagai ahli bidah pada 1415 karena mengajarkan bahwa umat awam harus diberi keleluasaan untuk membaca sendiri nas-nas Kitab Suci, juga karena pandangannya mengenai Ekaristi bertentangan dengan doktrin Gereja.[299] Ajaran-ajaran Yohanes Wycliffe mempengaruhi dua gerakan bidah besar pada Akhir Abad Pertengahan, yakni bidah Lolardi di Inggris dan bidah Husité di Bohemia.[300] Gerakan bidah di Bohemia dipicu oleh ajaran Yohanes Hus, yang dibakar hidup-hidup pada 1415 setelah dipidana mati sebagai ahli bidah oleh Konsili Konstanz. Meskipun sempat menjadi sasaran penyerbuan dalam Perang Salib, jemaat Husite sanggup bertahan melewati Abad Pertengahan.[301] Bidah-bidah lain hanyalah hasil rekayasa, misalnya dakwaan sebagai ahli bidah terhadap para Kesatria Haikal yang mengakibatkan tarekat mereka dibubarkan pada 1312, dan harta kekayaan mereka yang besar dibagi-bagi di antara Raja Prancis, Philippe IV (memerintah 1285–1314), dan para Kesatria Pramuhusada.[302]

Lembaga kepausan terus memoles dan memperhalus tata cara perayaan Misa pada Akhir Abad Pertengahan, dengan menetapkan bahwa hanya rohaniwan yang boleh meminum anggur Ekaristi. Ketentuan ini semakin memperlebar jarak antara umat awam sekuler dan kaum rohaniwan. Umat awam masih terus mengamalkan kebiasaan berziarah, penghormatan relikui, dan keyakinan akan adanya kekuatan Iblis. Tokoh-tokoh kebatinan seperti Meister Eckhart (wafat 1327) dan Tomas a Kempis (wafat 1471) menghasilkan karya-karya tulis yang berisi taklimat bagi umat awam untuk memusatkan perhatian pada kehidupan rohaninya masing-masing. Karya-karya tulis ini menjadi landasan bagi gerakan Reformasi Protestan. Selain ajaran-ajaran kebatinan, keyakinan akan tukang sihir dan ilmu sihir juga kian meluas. Pada penghujung abad ke-15, Gereja malah turut memperbesar ketakutan masyarakat akan ilmu sihir dengan mengeluarkan pernyataan mengutuk tukang sihir pada 1484, dan pada 1486, menerbitkan Malleus Maleficarum (Penggodam Tukang Sihir), buku panduan populer bagi para pemburu tukang sihir.[303]

Puncak Abad Pertengahan

Puncak Abad Pertengahan bermula sesudah tahun 1000 Masehi, yaitu ditandai dengan populasi Eropa yang meningkat pesat berkat munculnya inovasi-inovasi di bidang teknologi dan pertanian, yang memungkinkan berkembangnya perniagaan. Lonjakan populasi Eropa juga disebabkan oleh perubahan iklim selama periode Suhu Hangat Abad Pertengahan yang memungkinkan peningkatan hasil panen.

Ilustrasi naskah Prancis dari Abad Pertengahan yang menampilkan ketiga golongan masyarakat Abad Pertengahan: golongan yang berdoa (rohaniwan), golongan yang bertarung (kesatria), dan golongan yang bekerja (petani). Hubungan di antara ketiga golongan ini diatur menurut tatanan feodalisme dan manorialisme (Li Livres dou Sante, abad ke-13).

Ada dua tatanan kemasyarakatan yang diterapkan pada Puncak Abad Pertengahan, yakni manorialisme dan feodalisme. Manorialisme adalah penertiban rakyat jelata menjadi pemukim di desa-desa, dengan kewajiban membayar sewa lahan dan bekerja bakti bagi kaum ningrat; sementara feodalisme adalah struktur politik yang mewajibkan para kesatria dan kaum ningrat kelas bawah untuk maju berperang membela junjungan mereka sebagai ganti anugerah hak sewa atas lahan dan tanah perdikan (bahasa Inggris: manor).

Perang Salib yang mula-mula diserukan pada 1095 adalah upaya militer umat Kristen Eropa Barat untuk merebut kembali kekuasaan atas Tanah Suci dari umat Islam. Raja-raja menjadi kepala dari negara-negara bangsa yang tersentralisasi. Sistem kepemimpinan semacam ini mengurangi angka kejahatan dan kekerasan, tetapi membuat cita-cita untuk menciptakan suatu Dunia Kristen yang bersatu semakin sukar diwujudkan.

Kehidupan intelektual ditandai oleh skolastisisme, filsafat yang mengutamakan keselarasan antara iman dan akal budi, dan ditandai pula oleh pendirian universitas-universitas. Teologi Thomas Aquinas, lukisan-lukisan Giotto, puisi-puisi Dante dan Chaucer, perjalanan-perjalanan Marco Polo, dan katedral-katedral berlanggam Gothik semisal Katedral Chartres, adalah segelintir dari capaian-capaian menakjubkan pada penghujung kurun waktu Puncak Abad Pertengahan dan permulaan kurun waktu Akhir Abad Pertengahan.

Terminologi dan Periodisasi

Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.

Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).

Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.

Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.

Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.

Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).

Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.

Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.

Musik Religi Berkembang

Charlemagne dikenal sebagai pendukung keras agama Kristen, sehingga ia menyukai musik gereja khususnya musik liturgi Roma. Pada tahun 774 M, ia meminta Paus Hadrian I mengirim biarawan dari Roma ke istana Aachen untuk mengajar paduan suara.

Peristiwa ini memicu penyebaran musik tradisional Gregorian ke seluruh gereja-gereja kaum Franka. pada tahun 789 M, Charlemagne juga mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pendeta kekaisarannya untuk mempelajari dan bernyanyi dengan benar nyanyian Romawi.

Pada masa ini juga, sekolah musik didirakan dan para biarawan diberi tugas menyalin musik dan membantu melestarikan nyanyian Gregorian hingga saat ini.

Awal Abad Pertengahan

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.

Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.

Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.

Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.

Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.

Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.

Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.

Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.

Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.

Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.

Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.

Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.

Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.

Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.

Mata Uang Distandarisasi

Ketika Charlemagne menaklukan Eropa Barat, ia menyadari perlunya mata uang yang terstandarisasi. Bukan koin emas, pemerintahannya memiliki mata uang berupa koin perak yang dapat digunakan di seluruh kekaisaran.

Uang ini juga dikenal sebagai mata uang bersama pertama di Eropa sejak era Romawi. Sistemnya membagi satu pon perak murni Carolingian menjadi 240 keping. Bahkan Prancis diketahui mempertahankan versi dasar mata uang ini hingga Revolusi Prancis terjadi.