Inspirasi Motif Pintu Aceh
Makna dan Filosofi di Balik Motif Sarung Pintu Aceh
Setiap motif dalam sarung pintu Aceh mengandung filosofi dan makna yang mendalam. Misalnya, motif bunga atau daun bisa melambangkan kelahiran baru, pertumbuhan, atau kesuburan. Motif geometris sering kali mengajarkan tentang keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat, sementara motif Islami mengingatkan pemilik rumah untuk selalu mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain itu, sarung pintu juga menjadi simbol keterikatan masyarakat Aceh dengan tradisi dan leluhur mereka. Proses pembuatannya yang dilakukan dengan tangan mencerminkan nilai kesabaran, ketelitian, dan penghargaan terhadap pekerjaan seni. Hiasan ini juga menjadi media bagi masyarakat Aceh untuk mengekspresikan identitas budaya mereka yang kaya akan keindahan dan religiusitas.
Terinspirasi dari Monumen Pinto Khob Peninggalan Iskandar Muda
Awalnya, motif Pinto Aceh didesain oleh salah satu pengrajin emas yang berasal dari desa Blang Oi pada tahun 1953 yang bernama Mahmud Ibrahim.
Pada saat itu, Mahmud Ibrahim hanya membuat satu jenis perhiasan dengan motif ini yaitu bros atau pin.
Sebelumnya pada tahun 1926, Mahmud Ibrahim telah menerima sertifikat resmi atas keterampilannya dalam membuat perhiasan dari pemerintah Belanda pada penyelenggaraan pasar malam di Banda Aceh (Kutaradja).
Baca Juga : Tari Seudati dan Semangat Perjuangan Aceh
Dampak yang dialami setelah mendapatkan prestasi tersebut, membuat nama Mahmud Ibrahim menjadi terkenal ke seluruh Aceh.
Desain Pinto Aceh terinspirasi oleh monumen peninggalan Sultan Iskandar Muda yang bernama Pintu Khob.
Pintu Khob merupakan gerbang penghubung antara Taman Sari dengan Krueng Daroy, yang selalu dilewati oleh putri Kesultanan Aceh Darussalam dan para dayangnya ketika hendak pergi mandi di Krueng Daroy.
Pintu gerbang tersebut dibuat khusus oleh Sultan Iskandar Muda untuk permaisurinya.
Monumen Pintu Khop yang sekarang masih dapat ditemui ini berada di sekitar taman rekreasi yang terletak di tepi Krueng Daroy. Taman ini sekarang bernama Taman Putroe Phang.
Motif dan Makna Dibalik Motif Pinto Khob atau Pinto Aceh
Dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Talinda Arini Fitrah pada tahun 2021, menjelaskan tentang makna dibalik motif Pinto Aceh yang mana motif Pinto Aceh banyak mengandung unsur-unsur flora dan fauna:
Seiring waktu, motif Pinto Aceh tidak hanya terdapat di perhiasan bros, namun sudah merambat ke perhiasan-perhiasan lainnya. Bahkan kini, motif Pinto Aceh sering kita jumpai pada barang berbahan dasar kain seperti baju, tas, sarung dan lainnya.
Sehingga motif Pinto Aceh sangat mewakili Aceh, apabila tas tersebut memiliki motif Pinto Aceh, orang-orang akan menyebut tas tersebut dengan “Tas Aceh”.
Baca Juga : Seurune Kalee, Alat Musik Tiup Tradisional Aceh
Demikian pula, motif Pinto Aceh yang sangat sudah melekat dengan Aceh, sekarang ini banyak ukiran ukiran Pinto Aceh di jalanan kota di Aceh seperti di pilar-pilar jembatan, tiang lampu ukiran motif Pinto Aceh dan lain sebagainya.
Pada tahun 2022, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan bahwa 5 jenis karya seni tradisional Aceh tak benda yang menjadi warisan budaya Indonesia.
Kelima bentuk karya seni tradisional Aceh tak benda tersebut, salah satunya adalah perhiasan Pinto Aceh.
Untuk batik di daerah aceh, pada jaman dulu ratusan tahun lalu masyarakat Aceh memakai kain batik, ketika datangnya orang-orang dari pulau Jawa ke Aceh. Untuk motif batik aceh memiliki ciri khas tersendiri, yaitu menggunakan perpaduan unsur alam dan budaya dari masyarakat aceh sendiri. Untuk warna yang dominan dipakai dalam batik Aceh adalah warna cerah, seperti warna merah muda, merah, kuning, hijau dan lainnya. Sehingga kain batik akan terlihat cerah dan juga glamour. Dalam Motif batik Aceh mengandung makna yakni menggambarkan kepribadian masyarakat Aceh. Di dalamnya terdapat makna falsafah kehidupan yang menjadi kearifan lokal dan pedoman hidup masyarakat Aceh. Motif-motif Batik Aceh yang terkenal diantaranya adalah motif pintu Aceh, bunga jeumpa, motif tolak angin, rencong, awan berarak, awan meucanek, gayo, pucok reubong, dan sebagainya.
Jakarta (ANTARA) - Produsen gamis Mayra Indonesia meluncurkan koleksi gamis batik yang terinspirasi dari motif khas 11 daerah di Tanah Air. Peluncuran perdana koleksi gamis batik ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan 11 tahun Mayra Indonesia yang bertajuk "Prec1ous Surpr1se".
Sejak didirikan pada tahun 2010 lalu, Mayra Indonesia memiliki semangat untuk memperkenalkan gamis sebagai salah satu
perempuan Indonesia yang dapat bersaing dengan tren fesyen lainnya, tutur pendiri Mayra Indonesia, Ira Yusra.
"Kami memahami bahwa salah satu unsur penting dari dunia fesyen Indonesia adalah tradisi kain nusantara, dan batik merupakan salah satu warisan budaya leluhur kita. Kami mempersembahkan koleksi batik pertama yang terinspirasi dari 11 corak khas daerah di Indonesia yang dipadukan dengan model gamis modern," kata Ira, dikutip dari siaran resmi, Kamis.
Corak dalam koleksi gamis batik Mayra Indonesia merepresentasikan kekayaan tradisi dari 11 daerah di Indonesia yang hadir dalam 2
, reguler dan premium, dengan detail spesial yang eksklusif. Untuk koleksi premium, gamis Mayra Indonesia hadir dengan lima corak daerah, yaitu Sumatera Barat dengan motif batik rangkiang, Aceh dengan motif khas Pinto Aceh atau Pinto Khob, DKI Jakarta dengan motif batik Betawi yang unik, Bali yang terkenal dengan kecantikan motif songketnya, serta corak batik jumputan dari Palembang.
Untuk koleksi Reguler, Mayra Indonesia menghadirkan enam corak dari enam daerah lainnya di Indonesia, diantaranya motif batik tujuh rupa khas Pekalongan Jawa Tengah, Jawa Barat dengan motif megamendung yang penuh makna filosofis, malang kucecwara yang merepresentasikan Jawa Timur.
Koleksi ini jadi lebih spesial dengan kehadiran inspirasi motif mandau khas budaya masyarakat Dayak Kalimantan Timur yang unik, batik Sentani dari tanah Papua, serta motif tekstil sulaman Karawo dari Gorontalo.
Peluncuran koleksi busana muslim dengan sentuhan batik ini merupakan bagian dari rangkaian ulang tahun ke-11 Mayra Indonesia. Situasi pandemi yang tengah melanda Indonesia tentu tidak menghentikan langkah Ira Yusra untuk terus berinovasi mengembangkan tren busana muslim di kancah industri fesyen Indonesia.
“Saya membangun Mayra Indonesia dengan kepala dan menggerakkannya dengan hati. Hampir sebelas tahun mewarnai dunia fesyen Indonesia, saya semakin bersemangat untuk terus berkreasi memperkenalkan gamis sebagai salah satu
muslimah Indonesia. Walau saat ini kita semua sedang mengalami masa sulit akibat pandemi, saya bersama Mayra Indonesia akan terus melangkah maju selama masih memberikan manfaat dan menjadi solusi bagi banyak orang,” jelas Ira Yusra.
Dia berharap sebelas koleksi baru bisa jadi tren teranyar untuk muslimah di Indonesia.
Motif "Pintu Aceh" atau "Pinto Aceh" merupakan motif dan ornamen yang sangat terkenal dari Banda Aceh, NAD.
Desain Pinto Aceh diperoleh dari monumen peninggalan Sultan Iskandarmuda bernama Pinto Khob . Monumen tersebut yang sekarang di sekitarnya dijadikan taman rekreasi, terletak di tepi sungai (krueng) Daroy, konon dulunya sebagai pintu belakang istana Keraton Aceh khusus untuk keluar masuknya permaisuri Sultan Iskandarmuda beserta dayang-dayangnya kalau sang permaisuri menuju ke tepian sungai untuk mandi. Sekarang ini taman tersebut diberi nama Tanian Putroe Phang (Taman Putri Pahang), nama sang permaisuri.
Dari desain gerbang kecil Pintu Khob itulah diambil motif untuk perhiasan yang bernama Pinto Aceh ini.
Awalnya merupakan kreasi dari Mahmud Ibrahim, perajin emas dari Blang Oi pada tahun 1935. Karena kepiawaiannya membuat perhiasan ia dipanggil orang dengan Utoh Mud. Utoh Mud memperoleh sertifikat resmi atas keterampilannya itu dari pemerintah Belanda di Kutaraja (Banda Aceh) pada tahun 1926. Saat itu ia hanya membuat satu jenis perhiasan dengan motif Pinto Aceh, yaitu bros. Kini sudah ada cincin, leontin dan tusuk sanggul dengan variasi motif Pinto Aceh ini.
Pinto Aceh berbentuk ramping dengan jeruji-jeruji yang dihiasi motif kembang ditambah lagi sebagai pelengkap dengan rumbai-rumbai sepanjang kedua sisi.
The Pinto Aceh motif is the creativity of local Acehnese motifs that are different from other motifs in Indonesia. The Pinto Aceh motif has its own uniqueness and aesthetic value. This can be seen from its symmetrical like a butterfly shape. Interest in raising the theme of Pinto Aceh motifs is because researchers want to give a new touch, especially in leather crafts combined with Pinto Aceh motifs. So far the Pinto Aceh motif works that have been created are still the same as the first time this motif was created, always in form of a symmetrical butterfly. Because of that the creation of leather craft works is realized in the form of two-dimensional and three- dimensional works by presenting the new forms. The materials used are parchment leather, vegetable tanned leather, mosquito netting wire, wood, glass, mirrors, synthetic leather and iron. The method used in the creation of this work goes through three stages, that is the exploration stage, the design stage and the embodiment stage. The works created do not only contain aesthetic value but also contain the meaning of freedom of creation, which is manifested in the creation of the Pinto Aceh motif. The expression of the Pinto Aceh motif as a source of inspiration for the creation of leather craft can be a medium for art connoisseurs, especially craft art and in hope to give another new forms of craft art, so that in the future it can become a reference for the development of craft art, especially leather craft.
Keywords: PintoAceh,motifs,leather,craf.
Motif Pinto Aceh merupakan kreativitas lokal masyarakat Aceh yang jauh berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Motif Pinto Aceh mempunyai keunikan dan nilai estetika tersendiri. Hal ini dapat dilihat dari bentuknya yang simetris seperti kupu-kupu. Ketertarikan mengangkat tema motif Pinto Aceh karena peneliti ingin memberikan sentuhan baru khususnya kriya kulit yang dipadukan dengan motif Pinto Aceh khususnya kriya kulit. Sejauh ini karya-karya motif Pinto Aceh yang diciptakan masih sama seperti motif pertama kali diciptakan, yaitu seperti kupu-kupu yang simetris. Oleh karena itu penciptaan karya kriya kulit ini direalisasikan ke dalam bentuk karya dua dimensi dan tiga dimensi dengan menghadirkan bentuk-bentuk yang baru. Bahan yang digunakan adalah kulit perkamen, kulit tersamak nabati, kawat jaring nyamuk, kayu, kaca, cermin, kulit sintetis dan besi. Metode yang digunakan pada penciptaan karya ini melalui tiga tahap, yaitu: tahap eksplorasi, tahap perancangan dan tahap perwujudan. Karya-karya yang diciptakan tidak hanya mengandung nilai estetik tetapi juga mengandung makna kebebasan dalam berkarya yang diwujudkan dalam bentuk kreasi motif Pinto Aceh. Ekspresi motif Pinto Aceh sebagai sumber inspirasi penciptaan kriya kulit ini dapat menjadi media terhadap penikmat seni, khususnya seni kriya dan diharapkan dapat melahirkan bentuk kriya seni baru, sehingga dapat menjadi acuan untuk pengembangan kriya seni khususnya kriya kulit selanjutnya.
Kata Kunci: Pinto Aceh, motif, kulit, kriya.
Karya Mansyah : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Saniman Andi Kafri : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Muhammad Hamzah : Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
Dharsono, D. (2016). Kreasi Artistik “Perjumpaan Tradisi Modern Dalam Paradigma Kekaryaan Seni”. Surakarta: Citra Sain.
Ferawati, F., & Dewi, L. (2020). Suluah Dalam Nagari; Penciptaan Kriya Ekspresi Dengan Inspirasi Bundo Kanduang. Artchive: Jurnal Seni Rupa dan Desain Indonesia , 1(2), 122-133. http://dx.doi.org/10.53666/artchive.v1i2.1630.
Ginting, J., & Triyanto, R. (2020). Tinjauan Ketepatan Bentuk, Gelap Terang, dan Warna padaGambar Bentuk Media Akrilik. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 9(2), 300-308. https://doi.org/10.24114/gr.v9i2.20118.
Gustami, SP. 2007. Butit-Butir Mutiara Estetika Timur “Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya Indonesia”. Yogyakarta: Prasista.
Izzara, W. A., & Nelmira, W. (2021). Desain Motif Tenun Songket Minangkabau Di Usaha Rino Risal Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Gorga: Jurnal Seni Rupa, 10(2), 423-431. https://doi.org/10.24114/gr.v10i2.25928.
Mansyah, K. (2019), “Kaligrafi Arab Dalam Ekspresi Pinto Aceh Melalui Hiasan Interior”. Hasil Wawancara Pribadi: 30 Agustus 2019, Institut Seni Indonesia Padangpanjang.
Mansyah, K., Sulaiman, S., & Nursyirwan, N. (2020). Seni Kaligrafi Arab Dalam Ekspresi Pinto Aceh. Melayu Arts and Performance Journal, 3(1), 27-36. http://dx.doi.org/10.26887/mapj.v3i1.1341.
Sunarto, S. (2008). Seni Tatah Sungging Kulit. Yogyakarta: Prasista.
Susanto, M. (2011). Diksi Rupa; Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: DictiArt Lab & Djagad Art House.
Zam, R., Dharsono, D., & Raharjo, T. Transformasi
Estetik Seni Kriya; Kelahiran Dan Kriya Masa Kini.
(2), 302-310. https://doi.org/10.24114/gr.v11i2.36026.
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 595.32 841.92] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S>> endobj 4 0 obj <> stream xœ�ÙnãFòÝ€ÿ�O¹°Ú}ðÜ7Ï•Ñ“L2öa¼(“cQ¥Hd‚ü}ªª»)¶è–�gÂg æ.8óÂÆX¯áU6�½{ŒÒ°u-}H©bÙ+ék1Ó\±TŽÄôsdÈAð « ¬—‘8�À’G@ÐÝ÷h–†ÍƇ›¥Œ§—ßñ{F ÚÕÑ,+Â-„“ ƒC¿/£,\G³",áw«ö‡Ý_M{ÄÓNrVø�‘(TØV»±�M‰§yøO$9àÏ’°Eœ'Š\¢´ÀßôRtÂE¿Þuˆ”e:RèÑ ÿâ;ňU†˜šÈ}� á€ÚÚÔ¯õEÕDù‹Nc4šX 2±×�ŒÌ¾ô$™È]ýªoŸèÑ™EØ7³,< ÍѾߤ{sö“A¿-»¤/#,žkø} ‰=ÙÖD¯GY÷$©5ÑÖvA[()4À¦AâÕ¹’…–’xê$šï²–$Dº�kck;°3£Ìû?tˆ’màŪYÔ`_«“ŽŽ]ÙõÇ ”Dâ-È/ž�¥+ú][O¤šc‡fn¶(Þÿ]‚/èWFþ ?W=½ö¤5i¸ ½Áp±&l<¨É' óé²�¸À˜ÓzØu»vGÜ ÂxÿzÙû#Óöà€Ÿ¨0õÛ B•¤m¾¼¯É¹ûª_“*M”ÄöžÔ³n:�Œè" c–p¨XœÀ™˜Ôᥱ,X¬\Bt£y$Ç!$uØ1r™kªc¼‹ªIrΤuÉEvÜ¥…vB0¥/iSUp�½‰5Í&°^¦2�YÑ�‘¿Õ€2'.ü»¦Ó±³*1P“,¤D„N4KÁ{}ýEm©zH+þ®$cB¹X„�¨»!kR’C.¾7G£àQaÔ1Å4±mÈçšuCAB–Øu5%�‡@Ý:cûŸHi�§mvƱî:èGòþî€ù«£ Ô:ði»R¿ÒÀÆë’‚¥Êfï!kØŠ¡@j›Fg«rÓc0©T_#Þ¦Ä�=á éVã4mgÏ¡Å7ŽÍ®-7¨Z~Âr꛲ùZgße¿èO÷ëí¯6=lûªŒ¸?6m…uô²TÎr«²ª~E>K8+rï«•oSvÁç’Ϧ\#7¾à•"f\¸D¼þ-² ìCxžAŠn¾ß’óü&XúÂ_æéë_Ë‹ ¬ˆ"ogCTæ‚ûØP<›À¾d‘3•¼È²`…òÃŽ‡¬çA˜À0(È熴¡œ`ÊX°¸”„—D?‚aÊm$¨Ï¬=ÅòÜÊîÕ*>.-_S-‹SžëÕN‘±üŒÇ/55eð倞»ûk{ƒGКú‹ê=zÙc�í¤ovP¹Ä”ó*V„Â9C‰„eCäô *è«jRÕõþÂDÓ�ƒ¾ì G“,{dœðoáè–úÅ ]P‰†ÌåYRyÆû ÁË#ª)€b’ðxl`ŽR¯Ð÷uiåü±E"û[”A$ ^‹4MTŠ_ê�‘ž¬ˆ‘õZ J!O d`ÖÈFM‡ ß鞬·Ž¨ÓA΃=|—Ø Jm8!ˆaAßô)9~O™;ž„Dš°¤pŸÅ„„c{®È•c_$�E¸L!ب�SP?mË>™¤àNwÀ}yªÞ`Ó¿› M §©iI]ì³E‰Phºøš{™Ãó-ƒ¹dESF{B4íÍ“íL ºm†V{å\¿?�Ü£‹¿ÑÌƧ1¥eù’"cZΘBÖ”À¶µ{/Z ƒ¹‹¯¨ÞÛ™c#�Ö©8SªÇkã˜ÉäœjôûMÙŒ{u�¥íåq ÐW4X,Ü>´gPïi‚:nÊ-þäzxN¦Ã³·Q+XžºüÙiXù©…iŸè7�µfûšñFÊ»àg¶2£^Æ×LØl;Ø$-΃øîЃ¡ Pè`níÝÚr/Ð`¶:7q>Òéã�†‹aú³‡¤|Òû¶ÜÙ¶[�ßdœÊ>¬»@�¾•`R¹âͼ°PÓ V�Bę渫FünË£žð/Û†§§ ¹ÛVOÖí`㥕‡B½S9 ͨÖ÷Ö§œ¡‡3Z~î+lüؘˆ6Ê�²µ»3#Ð]Û-w§¨0§¿a¯�â+sø€oÔt0�&âªY÷Ä0îmö—Æ £�=¡]~™a›<½©(·Q>ý�æqø –tV8M6Í å9œX¡¬(-/ˆ…û¢ÉƒWvCz\_7YHlOZ‹¡˜½ÐåÍ¡:h«÷ÎòŽ÷ÆzúõDÊ]`ÅD/�ýú%¦£qßvˆ0R ¼@I›õ$ë²oÌ=9à°¯�Œº’p!ž;â{Ù`F7Gw˜ãüW²À¸s¸¹Ç-a=”:S˜0Ü}ÙRe16ï‹Œ g/>@»ã…/R\ª8ð…¯Ý�yΒ䌸o"‰…ÄnÞö—\Q°âŒ²SrAÛ\ûš‚xÝÐD~ÙE+@-¶Ëã}�íhg×ÕÛ½é8r›~�di*´§Íœ]ez/7ä�ê´|yÕ ¹òÌeí�‹Òº ÞÄEºñª ¬—™$�À¾¥<Ó–˜Ydøžvù{o5Ǿ5{Ýc±˜>ViíšÞÁß4¤‚eñ™üzKi“ŒFÑ妘^v©° Ñ„tl¯Êjڙ̸6•¨Ú!\DAXôÕPÏðªQ×d/žéD5¬îVî©”¶§äDÎÆHP½nx´ëå%n豅 G»NS ðPò�[/®0žáÖÊQˆo<6.ö%EÃô"Åp…é—)S¹~¶?˜ÑÒ˜‹DâT¤r Ìà �YôP__ýï?A$EÆd¬éf§* !i· ÒàhßηåS-Dðnüz}õ/Ùüt~ endstream endobj 5 0 obj <> endobj 6 0 obj <> endobj 7 0 obj <> endobj 8 0 obj <> endobj 9 0 obj <> endobj 10 0 obj <> endobj 11 0 obj <> stream ÿØÿà JFIF ` ` ÿÛ C !(!0*21/*.-4;[email protected]?]c\RbKSTQÿÛ C''Q6.6QQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQQÿÀ â œ" ÿÄ ÿÄ µ } !1AQa"q2�‘¡#B±ÁRÑð$3br‚ %&'()*456789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyzƒ„…†‡ˆ‰Š’“”•–—˜™š¢£¤¥¦§¨©ª²³´µ¶·¸¹ºÂÃÄÅÆÇÈÉÊÒÓÔÕÖ×ØÙÚáâãäåæçèéêñòóôõö÷øùúÿÄ ÿÄ µ w !1AQaq"2�B‘¡±Á #3RðbrÑ $4á%ñ&'()*56789:CDEFGHIJSTUVWXYZcdefghijstuvwxyz‚ƒ„…†‡ˆ‰Š’“”•–—˜™š¢£¤¥¦§¨©ª²³´µ¶·¸¹ºÂÃÄÅÆÇÈÉÊÒÓÔÕÖ×ØÙÚâãäåæçèéêòóôõö÷øùúÿÚ ? î-µ™®m¡¸‹K¸1Ì‹"$@�FGªQ¨]‘‘¤\ßØ¿øª¡¢®4M4ÿ zÎÿ Ž ¸Î¨Bž§ «QÒæN¥�‰?´/?èqÿ "ÿ ⪮¤Óê6Oi6“r#vRß¼ˆä{¾*ÀéÒŠ~Ì^×ÈÀ] £fò´Ë€¬À�Æ&Æ ÁPÿ ‰1 þ‡{” g|Y` Ÿž0? k~Š=˜{_# hó‹´ûÚ•�Ê!�—n1¿¦)‡C¸b[ß9�ÌÐàîÉ`FîAf'óë¢ïEÌ=¯‘ÎI Í2–Êä¡]¤(„Øþ>ƒoëÖ¥ƒHš+讆�3˜äÞò¹äœÿ ¬ûÜã>€qÅoQG³kä`¾“tþvë[¹<á&ï0ÂÛK�˜¯ÏÇOÊ�•4PʃO¸Ä‰°©hÌcî “ýŽyç5¹Hz=˜{_#ž:îA{[Ö £m-ÐQJ®>n:Ÿþµ9ô[— µ�Á!vså}Ý¡@ÿ YèLWAEÌ=¯‘‡m§j6“ùÑEwæ0 ïòHávä ãõéMÓ´yì5.ÖÒöO$ªï#á»5½EÌ=¯�ï·ÞÐ"çþþEÿ ÅRh]çÙÿ ®±ñT•>é$]¤m g׊=˜{_"S¨Ý¨ÉÒn ÷–/þ*²5[h×Km}§]¤Œ‚@Fà’;7±b3ÔW›üK]ºõ¨ÎÐ×ÿ Cz™FÅÆ|Çu£(þÂÒù?ñåöjáAïǽUÑ¿ä¥ÿ ×”?ú Kçƒ1‰—i9I+˜Oâc,�Ã#8c»juØã*ÙÍPÜZ-ã’>^¾õ
Aceh, sebagai salah satu wilayah yang kaya akan sejarah dan budaya di Indonesia, memiliki berbagai warisan seni yang khas dan unik. Salah satu di antaranya adalah sarung pintu—bagian dari dekorasi rumah tradisional Aceh yang memperlihatkan kekayaan seni dan budaya masyarakatnya. Sarung pintu ini biasanya ditempatkan di bagian atas daun pintu atau jendela, berfungsi sebagai hiasan sekaligus simbol status sosial dan estetika. Motif-motif pada sarung pintu Aceh tidak hanya sekadar ornamen visual, tetapi memiliki makna yang mendalam, mencerminkan nilai-nilai tradisi, agama, dan kehidupan masyarakat Aceh.
Motif Sarung Pintu Aceh
Motif-motif pada sarung pintu Aceh umumnya terinspirasi dari alam, nilai-nilai religius, serta kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh. Beberapa motif yang sering dijumpai antara lain:
Motif bunga menjadi salah satu motif yang paling sering dijumpai. Bunga melambangkan keindahan dan kesucian. Dalam konteks religius, bunga sering kali dikaitkan dengan simbol keagungan Tuhan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Motif geometris biasanya berupa pola segitiga, lingkaran, dan garis-garis simetris. Motif ini mencerminkan harmoni dan keseimbangan dalam kehidupan, juga bisa menggambarkan keteraturan hukum alam yang diciptakan Tuhan. Selain itu, motif geometris sering dikaitkan dengan kebijaksanaan dan pengetahuan.
Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekah, memiliki tradisi Islam yang kuat. Hal ini tercermin dalam motif-motif kaligrafi Arab atau pola yang terinspirasi dari seni Islami. Ayat-ayat Al-Qur'an, doa-doa, serta simbol-simbol Islami sering diintegrasikan ke dalam desain sarung pintu sebagai bentuk pengingat akan pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.
Motif ini sering kali menggambarkan berbagai bentuk daun, bunga, atau hewan yang ada di alam sekitar Aceh. Masyarakat Aceh yang hidup berdampingan dengan alam memiliki kedekatan emosional dengan flora dan fauna, sehingga mereka mengabadikannya dalam karya seni, termasuk dalam sarung pintu. Motif flora dan fauna juga bisa menjadi simbol kemakmuran dan kesejahteraan.
Peran Sarung Pintu dalam Kehidupan Masyarakat Modern
Di era modern ini, sarung pintu masih banyak dijumpai di rumah-rumah tradisional Aceh dan digunakan sebagai elemen dekorasi di berbagai acara adat, seperti pernikahan atau upacara adat lainnya. Walaupun fungsinya sebagai simbol status sosial mulai berkurang, sarung pintu tetap menjadi salah satu bentuk kebanggaan budaya Aceh yang terus dilestarikan.
Banyak pengrajin tradisional di Aceh yang masih membuat sarung pintu dengan menggunakan teknik-teknik lama, meskipun sekarang ada juga yang memanfaatkan teknologi modern dalam proses pembuatannya. Para pengrajin ini tidak hanya melestarikan tradisi, tetapi juga berkontribusi dalam memperkenalkan budaya Aceh ke dunia luar melalui penjualan produk sarung pintu ini sebagai barang seni.
Motif sarung pintu Aceh bukan hanya sekadar dekorasi rumah, tetapi juga merupakan cerminan dari identitas budaya, kepercayaan, dan filosofi hidup masyarakat Aceh. Keindahan dan makna yang terkandung di dalamnya menjadikan sarung pintu sebagai salah satu warisan budaya yang berharga, yang patut untuk terus dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi mendatang. Melalui motif-motifnya yang kaya, sarung pintu Aceh tidak hanya mempercantik rumah, tetapi juga membawa pesan tentang kebijaksanaan, keindahan, dan spiritualitas yang dalam.
Cendera mata yang sering dijadikan buah tangan oleh turis yang berkunjung ke Aceh, salah satunya adalah sesuatu yang menggunakan Pinto Aceh, baik perhiasan, aksesoris, baju, dan masih banyak lagi.
Motif ini adalah motif yang sangat diminati oleh masyarakat Aceh. Sehingga banyak barang ataupun aksesoris dengan motif ini yang mudah untuk dijumpai di Aceh.
Sejarah Sarung Pintu Aceh
Tradisi membuat dan menggunakan sarung pintu di Aceh telah ada sejak lama dan berkaitan erat dengan arsitektur rumah-rumah tradisional Aceh. Rumah tradisional Aceh atau dikenal sebagai rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang berbahan dasar kayu. Sarung pintu ini sering kali terbuat dari kain yang dihias dengan berbagai motif khas yang disulam dengan tangan.
Dahulu, sarung pintu tidak hanya berfungsi sebagai dekorasi rumah, tetapi juga menjadi penanda status sosial pemilik rumah. Rumah bangsawan atau orang yang memiliki kedudukan penting biasanya memiliki sarung pintu dengan motif yang lebih rumit dan dihiasi dengan benang emas atau perak.